Senin, 16 Juli 2018

Spice and Wolf Bahasa Indonesia : Volume 1-Chapter 1

Volume 1: Chapter 1


“Jadi, itu yang terakhir kan?”

“Hm, kita lihat...tujuh puluh bulu-bulu, sesuai jumlah. Senang berbisnis denganmu.”

“Hey, sama-sama. Hanya kau satu-satunya yang jauh datang ke gunung ini, Lawrence. Aku yang harusnya berterima kasih padamu.”

“Tapi, walaupun begitu aku mendapatkan bulu-bulu yang bagus. Aku akan datang lagi.”

Setelah berbasa-basi seperti biasa, Lawrence meninggalkan desa pada sekitar jam lima pagi. Matahari mulai berpanjat saat dia pergi, dan siang harinya dia telah menuruni gunung dan masuk ke dataran.

Cuacanya terlihat bagus, tidak ada angin. Hari itu terlihat sangat sempurna untuk tidur di gerobak saat dia melewati dataran itu. Terasa sangat aneh baginya karena baru-baru ini dia merasakan dinginnya musim dingin yang sudah mendekat.

Tahun ini adalah tahun ketujuhnya sebagai pedagang keliling dan tahun ke dua puluh limanya sejak dia lahir. Dia menguap dengan lebar di kursi kusirnya.

Ada bebrapa rumput dan pohon yang tinggi, jadi dia disuguhi pemandangan yang luas. Di ujung penglihatannya, dia bisa melihat biara yang dibangun beberapa tahun yang lalu.

Dia tidak tahu kenapa mereka menyendiri di tempat yang terpencil ini. Pekerjaan batu di bangunan ini sangat indah dan bahkan mempunyai gerbang besi. Lawrence mengingat setidaknya ada dua puluh biarawan yang tinggal disini dan dihadiri juga oleh pelayan laki-laki yang jumlahnya hampir sama.

Dulu pada saat biara tersebut baru dibangun, Lawrence berharap mendapatkan pelanggan baru, namun entah bagaiman para biarawan dapat mengamankan persediaan tanpa membutuhkan bantuan pedagang luar, jadi harapannya sirna.

Memang, para biarawan hidup dengan sederhana, merawat ladang mereka, jadi berdagang dengan mereka akan tidak terlalu menguntungkan. Ada juga masalah lain seperti dimana mereka akan mengumpulkan donasi dan membuat tagihan mereka tidak terbayar.

Sejauh dalam perdagangan sederhana, mereka jauh lebih buruk daripada pencuri kecil. Tetap saja ada waktu dimana kadang cocok berdagang dengan mereka.

Jadi Lawrence melihat ke arah biara dengan sedikit rasa sesal, tapi kemudian matanya menyipit.

Dari arah biara, seseorang melambaikan tangan kepadanya.

“Apa ini?”

Sosok tersebut tidak terlihat seperti pelayan laki-laki. Dia mengenakan baju pekerja berwarna coklat tua. Sosok yang melambaikan tangan itu ditutupi busana abu-abu. Tindakannya memang membuat ini sepertinya akan merepotkan, tetapi jika tidak menghiraukannya akan membuatnya lebih buruk. Lawrance dengan ragu mengarahkan kudanya ke sosok itu.

Mungkin menyadari bahwa Lawrence sekarang menuju ke arahnya, sosok tersebut berhenti melambaikan tangannya namun tetap berada di situ. Sepertinya dia menunggu kedatangan gerobak kudanya. Bukan pertama kalinya orang-orang gereja munjukkan kesombongannya. Lawrence tidak punya waktu untuk merasa tersinggung.

Saat dia mendekati biara sosok tersebut terlihat semakin jelas, Lawrence bergumam sendiri.

“... seorang ksatria?”

Pada awalnya dia berpikir bahwa itu konyol, tetapi saat dia semakin dekat dengannya, tidak salah lagi kalau dia adalah ksatria. Busana abu-abunya ternyata adalah baju zirah perak.

“Kau, yang disana! Apa kepentinganmu  disini?”

Jarak mereka masih terlalu jauh untuk memulai percakapan, oleh karena itu ksatria tersebut berteriak kepadanya. Sepertinya dia merasa tidak perlu untuk mengenalkan dirinya, seakan posisinya sebagai ksatria sudah jelas.

“Namaku Lawrence, pedagang keliling. Apakah anda membutuhkan jasa saya?”

Biara tersebut sekarang berada tepat di depannya. Dia sudah sangat dekat untuk bisa menghitung jumlah pelayan yang bekerja di ladang sebelah selatan.

Dia juga melihat bahwa ksatria yang ada didepannya tidak sendiri. Ada ksatria lain yang melewati biara, mungkin sedang berjaga.

“Seorang pedagang? Tidak ada kota di arah kau berasal, pedagang.” Ksatria tersebut berkata dengan angkuh sembari membusungkan dadanya untuk memamerkan salib emas yang di ukir di sana.

Tetapi mantel yang menutupi bahunya berwarna abu-abu, menandakan bahwa dia adalah ksatria tingkat rendah. Rambut pirangnya terlihat baru dipotong, dan tubuhnya terlihat menandakan bahwa dia belum melewati banyak pertarungan, jadi keangkuhannya mungkin berasal dari posisinya sebagai ksatria baru. Sangat penting untuk menghadapi orang seperti ini dengan berhati-hati. Mereka cenderung terlalu bersemangat.

Alih-alih menjawab, Lawrence mengambil kantong kulit dari saku dadanya dan dengan perlahan membuka tali yang mengikatnya. Di dalamnya terdapat permen yang terbuat dari madu yang mengkristal. Dia mengambil satu dan memasukkan ke dalam mulutnya, kemudian menawarkan kantong terbuka itu ke ksatria.

“Apakah anda mau?”

“Mmm,” kata ksatria, dengan ragu sebelum akhirnya hasrat untuk permen manisnya menang.

Tetap saja, mungkin karena posisinya sebagai ksatria, butuh waktu lama untuk ksatria tersebut mengangguk dan kemudian mengambil permen tersebut.

“Setengah hari berjalan dari timur ke sini ada sebuah desa kecil di gunung. Aku berdagang garam di sana.”

“Ah. Aku melihat barang di gerobakmu. Termasuk garam?”

“Tidak, tetapi bulu-bulu. Lihat,” kata Lawrence. Berbalik dan membuka terpal yang menutupi barangnya, memperlihatkan bundel kulit yang indah. Gaji satu tahun seorang ksatria tidak ada apa-apanya dibanding harga dari kulit itu.

“Mm, kalau ini?”

“Ah, ini adalah gandum yang aku dapatkan dari desa itu.”

Gandum yang diikat di pojok dari gunungan kulit itu dipanen dari desa dimana Lawrence berdagang garamnya. Gandum tersebut tidak terpengaruh udara dingin dan tidak termakan serangga. Dia berencana untuk menjualnya ke barat laut, dimana disana tanaman terkena parah oleh cuaca dingin.

“Hm, Baiklah. Kau boleh lewat.”

Terdengar sangat aneh mendengar kata tersebut dari seseorang yang tadi memanggilnya ke sini dengan sangat angkuh, tapi jika Lawrence hanya cukup menjawab dengan sopan seperti “Baik, tuan.” Dia akan dianggap sebagai pedagang yang ramah.

“Jadi, kenapa anda ditempatkan di sini, tuan ksatria?”

Wajah ksatria tersebut mengarah ke kantong permen madunya.

Dia mengerti maksud dari ksatria itu dan kembali membuka kantong permennya, mengambil satu dan memberikannya ke ksatria itu.

“Mmm, enak. Terima kasih.”

Ksatria berlaku dengan benar. Lawrence memiringkan kepalanya dengan sopan, dengan senyuman pedagangnya.

“Para biarawan mendengar sebentar lagi ada festival orang kafir yang akan diselenggarakan. Jadi penjagaan ditambah. Apakah kau tahu sesuatu tentang festival ini?”

Jika wajahnya mengkhianati semua kekecewaan pada penjelasannya, menganggapnya penampilan tingkat tiga masih terdengar terlalu baik, <TLN: idiom inggris> jadi Lawrence hanya memasang raut wajah sedih dan menjawab, “Sayangnya, saya tidak tahu.” Ini sebenarnya adalah sebuah kebohongan besar, tetapi sang ksatria juga sama salahnya, jadi tidak mereka sama.

“Mungkin, festival tersebut diadakan secara tertutup. Orang kafir memang sangat pengecut.” Sang ksatria sangat salah dan terdengar konyol, tetapi Lawrence hanya mengangguk dan berpamit pergi.

Sang ksatria mengangguk dan berterima kasih lagi atas permen madunya.

Tidak diragukan lagi permen itu sangat enak. Kebanyakan uang ksatria dihabiskan untuk peralatan dan penginapan. Bahkan tukang sepatu amatir hidup lebih baik daripada mereka. Tidak salah lagi kalau sang ksatria itu sudah lama tidak makan manis.

Bukan berarti Lawrence mempunyai keinginan untuk memberinya lagi.

“Tetap saja, festival orang kafir mereka bilang?” Lawrence mengulang perkataan ksatria setelah biara tersebut ada di belakangnya.

Lawrence mempunyai firasat tentang apa yang ksatria itu katakan. Sebenarnya, semua orang yang berada di daerah ini tahu tentang hal ini.

Tapi ini bukan “festival orang kafir.” Karena, orang kafir asli berada jauh di utara, atau di ujung timur.

Festival yang ada disini adalah festival membuat penjagaan dibiara jadi tidak dibutuhkan.

Festival ini hanyalah festival panen biasa, yang bisa ditemukan dimanapun.

Memang benar, festival di daerah sini lebih megah daripada perayaan biasa, yang mungkin mengapa orang-orang biara mengawasinya dan melaporkannya ke kota. Gereja itu memang lama tidak memegang kendali di daerah itu, yang membuat mereka menjadi khawatir tentang hal-hal yang terjadi di situ.

Memang, gereja ingin mengadakan penyelidikan dan mengubah orang kafir, dan perseteruan antara filsuf alam dan teolog jarang terjadi di kota. Zaman dimana gereja dapat mengatur dan mendapatkan kesetiaan penduduk mulai menghilang.

Martabat dari institusi mulai runtuh – bahkan jika penduduk kota diam, semua mulai sadar mengenai hal tersebut. Bahkan, sang Paus yang belakangan ini mengadakan petisi untuk para raja dari beberapa negara untuk mengumpulkan dana amal berada di bawah ekspetasi. Mungkin sepuluh tahun yang lalu kisah seperti itu akan dianggap tidak masuk akal.

Jadi, gereja dengan putus asa mencoba mengambil kembali kekuasaannya.

“Bisnis dimana-mana akan menderita,” kata Lawrence dengan sedih, memasukkan permen madu lagi ke mulutnya.


Langit barat terlihat lebih indah dengan kilauan emasnya dibanding dengan ladang gandum pada waktu Lawrence tiba di dataran. Burung di kejauhan menjadi terlihat seperti bayangan saat mereka bergegas pulang, dan disana-sini para katak bernyanyi hingga tidur.

Nampaknya ladang gandum sudah kebanyakan di panen, jadi festival tidak diragukan lagi akan segera diadakan – bahkan mungkin saja diadakan lusa.

Lawrence berbaring dimana di depannya ada bentangan dari ladang gandum desa Pasloe. Semakin banyak panennya, maka semakin sejahtera desa itu. Ditambah lagi, bangsawan yang mengatur tanah disitu, Count Ehrendott, terkenal sebagai orang yang ikut bekerja di ladang juga. Tentu saja festival tersebut mendapatkan dukungannya, dan setiap tahun dimeriahkan oleh anggur dan lagu.

Lawrence tidak pernah mengikuti festival itu. Sayangya, orang luar tidak diperkenankan mengikuti.

“Hei, Kerja bagus!” Lawrence memanggil seorang petani yang mengendarai gerobak yang berisi gandum yang menumpuk tinggi dari ujung ladang. Gandum itu sangat matang. Siapapun yang berinvestasi di gandum itu bisa bernafas dengan lega.

“Ada perlu apa?”

“Bisakah kau memberitahuku dimanakah Yarei berada?” Lawrence bertanya.

“Oh Yarei berada di sebelah sana lagi – lihat dimana orang-orang berkumpul? Di ladang itu. Kebanyakan pemuda berada ditempatnya tahun ini. Siapapun yang terakhir akan mendapatkan Holo!” kata petani dengan ramah, wajah cokelatnya tersenyum. Sebuah senyum yang jujur dimana seorang pedagang tidak mungkin dapat melakukannya.

Lawrence berterimakasih ke petani dengan senyuman pedagang terbaiknya, dan mengarahkan kudanya ke tempat Yarei.

Seperti yang dikatakan petani tadi, ada banyak orang berkumpul di dalam batasnya, dan sepertinya mereka sedang meneriakkan sesuatu. Mereka terlihat seperti menyemangati ke beberapa dari mereka yang masih bekerja di ladang, tetapi tidak menjelekkan keterlambatan mereka. Mengolok-olok adalah bagian dari festival.

Saat Lawrence dengan malas mendekati kumpulan tersebut, dia berhasil mendengarkan teriakan mereka.

“Ada serigala! Seekor serigala!”

“Sebuah serigala terbaring di sini!”

“Siapakah yang akan bertahan dan mengakap serigala itu? Siapa, siapa, siapa?” penduduk desa berteriak, wajah mereka terlihat sangat ceria sampai bisa membuat orang bertanya-tanya apakah mereka mabuk. Tidak ada dari mereka yang memperhatikan Lawrence menarik gerobaknya dibelakang kumpulan orang itu.

Apa yang dengan semangat mereka sebut serigala sebenarnya bukanlah serigala asli. Jika itu asli, tidak mungkin orang-orang akan tertawa.

Serigala tersebut adalah dewi panen, dan menurut legenda desa, dia berada di batang terakhit dari gandum yang sudah matang. Siapapun yang memotong batang itu akan dirasuki oleh serigala itu, kata mereka.

“Ini adalah ikat terakhir!”

“Ingat jangan potong terlalu jauh!”

“Holo lari dari tangan yang serakah!”

“Siapa, siapa, siapa yang akan menangkap serigala itu?”

“Dia Yarei! Yarei, Yarei, Yarei!”

Lawrence turun dari gerobaknya dan melihat ke arah kumpulan orang itu di saat Yarei mendapatkan ikat terakhir dari gandum itu. Wajahnya terlihat hitam dengan keringat dan tanah saat dia tersenyum dan mengangkat tinggi gandum itu, mengangkat kepalanya ke belakang, dan melolong.

“Awoooooo!”

“Itu Holo! Holo, Holo, Holo!”

“Awoooooo!”

“Holo sang serigala di sini! Holo sang serigala di sini!”

“Tangkap dia, sekarang! Tangkap dia cepat!”

“Jangan biarkan dia kabur!”

Orang-orang yang berteriak tiba-tiba mengejar Yarei.

Sang Dewi panen yang berlimpah, ketika terpojok, akan merasuki seorang manusia dan mencoba kabur. Jika berhasil menangkapnya maka dia akan di situ selama satu tahun ke depan.

Tidak ada yang tahu apakah Dewi ini benar –benar ada. Tapi ini adalah tradisi lama dari daerah ini.

Lawrence telah berkelana kesana-sini, jadi dia tidak menghiraukan ajaran gereja, tapi keyakinannya tentang tahayul lebih besar dipandang dengan para petani di sini. Terlalu sering dia melewati gunung hanya untuk mengetahui bahwa harga barangnya turun drastis. Cukup untuk membuat siapa saja percaya tahayul.

Jadi, dia tidak peduli dengan tradisi yang dianggap oleh umat sejati atau gereja sebagai hal yang memalukan.

Tapi hal ini sangat merepotkan karena Yarei menjadi Holo tahun ini. Sekarang Yarei harus dikunci di lumbung yang berisi sesembahan sampai festival selesai – hampir satu minggu – dan sangat tidak mungkin berbicara dengannya.

“Mau bagaiamana lagi...” kata Lawrence, menghela nafas saat dia mengarahkan gerobaknya ke arah rumah kepala desa.

Dia sebenarnya ingin menikmati minum bersama Yarei dan melaporkan kejadian di biara, tapi jika dia tidak menjual bulu-bulu yang menumpuk di gerobaknya, dia tidak bisa membeli barang-barang saat tagihannya datang. Dia juga ingin menjual gandum yang dia beli dari desa lain dan tidak bisa menunggu sampa festival berakhir.

Lawrence berbincang sebentar tentang kejadia biara kepada kepala desa, yang sedang sibuk dengan persiapan festival. Dia dengan sopan menolak tawaran untuk menginap dan meninggalkan desa itu.

Dulu sebelum sang Count mulai mengatur daerah itu, mereka menderita oleh pajak yang berat yang membuat harga export mereka naik, Lawrence telah membeli beberapa gandum yang berharga tidak masuk akal ini dan menjualnya dengan keuntungan kecil. Dia tidak melakukan ini untuk menyenangkan warga desa, tetapi hanya karena dia tidak mempunyai sumber daya untuk bersaing dengan pedagang lain untuk gandum yang lebih murah dan lebih bagus. Meskipun demikian, penduduk desa masih berterimakasih untuk bisnisnya dengan mereka pada waktu dulu, dan Yarei merupakan perantara dari perdagangan tersebut.

Sangat disayangkan dia tidak bisa minum dengan Yarei, namun jika Holo muncul Lawrence pasti akan dikejar oleh para penduduk desa saat festival mencapai puncaknya. Jika dia menginap, dia tidak bisa menginap lama. Saat dia duduk di gerobaknya, Lawrence merasakan kesepian karena dikecualikan oleh mereka.

Mengunyah sayur yang dia dapat sebagai suvenir, dia mengambil jalan ke barat, melewati para petani yang ceria yang kembali dari pekerjaan mereka.

Kembali ke perjalanannya yang sepi, Lawrence iri kepada para petani dan kawan-kawannya.


* * *


Lawrence adalah pedagang keliling dan berumur dua puluh lima tahun. Pada saat dia berumur dua belas tahun dia belajar dari kerabatnya, dan pada saat berumur delapan belas tahun dia pergi sendiri. Ada banyak tempat yang belum pernah dia kunjungi, dan dia merasa bahwa rintangan sebenarnya sebagai seorang pedagang belum datang kepadanya.

Seperti pedagang keliling lainnya, mimpinya adalah menabung uang agar cukup untuk membuka toko di kota, tetapi kelihatannya mimpi itu masih terasa jauh. Jika dia bisa mendapatkan kesempatan bagus mungkin bisa, tetapi sayangnya pedagang yang lebih besar selalu mendapatkannya dengan uang mereka.

Namun, dia membawa banyak barang ke berbagai daerah demi membayarkan hutangnya secara tepat waktu. Bahkan jika dia melihat kesempatan bagus, dia tidak mempunyai uang yang cukup untuk mengambilnya. Untuk seorang pedagang keliling, hal tersebut sangat mustahil bagaikan mencapai bulan di langit.

Lawrence memandang ke bulan dan menghela nafas. Dia menyadari bahwa akhir-akhir ini dia sering menghelakan nafasnya, baik reaksi dari bertahun-tahun berdagang dengan panik untuk memenuhi kebutuhan, atau belakangan ini dia berpikir terlalu jauh ke depan.

Ditambah lagi, seharusnya dia berpikir tentang kreditor, tenggat waktu pembayaran, dan menuju ke kota selnjutnya secepat mungkin, pikiran lain mulai berkejaran di kepalanya.

Khususnya, dia memikirkan orang-orang yang dia temui di perjalanannya.

Dia berpikir tentang pedagang yang dia temui saat dia mengunjungi kota berulang kali saat bisnis dan para penduduk desa yang dia kenali saat di tujuannya, Pelayan yang dia sukai saat lama menginap di penginapan, menunggu badai berhenti, dan seterusnya.

Ringkasnya, dia semakin sering menginginkan teman perjalanan.

Keinginan itu merupakan salah satu resiko untuk para pedagang yang telah bertahun-tahun sendiri di gerobak, tetapi Lawrence baru merasakannya belakangan ini. Sampai saat ini, dia biasanya bersumbar bahwa hal itu tidak akan terjadi kepadanya.

Tetap saja, menghabiskan waktu sendiri dengan kudanya, dia mulai merasa bahwa akan lebih enak jika kudanya bisa berbicara.

Cerita tentang kuda gerobak yang berubah menjadi manusia sering terdengar diantara pedagang keliling, dan Lawrance selalu menertawakan kekonyolan itu, tetapi belakangan ini dia berpikir apakah cerita tersebut benar.

Saat pedagang muda akan membeli kuda dari pedagang kuda, beberapa dari mereka menawarkan kuda betina muda dengan raut wajah yang datar. “Untuk berjaga-jaga kalau nanti dia berubah menjadi manusia.”

Hal ini terjadi kepada Lawrence, yang kemudian tidak dia hiraukan dan membeli kuda jantan yang kokoh.

Kuda itu adalah kuda yang selalu bersamanya sampai sekarang, namun saat waktu berlalu dan Lawrence menjadi kesepian, dia berpikir mungkin seharusnya dia membeli kuda betina muda.

Di sisi lain, kuda itu selalu membawa beban berat berhari-hari. Meskipun jika dia berubah menjadi manusia, akan mustahil untuk jatuh cinta kepada tuannya atau menggunakan kekuatan misteriusnya untuk membawakan keberuntungan ke mereka.

Mereka mungkin ingin digaji dan meminta untuk beristirahat. Renung Lawrence.

Selekas dia berpikir hal tersebut, dia merasa bahwa lebih baik kalau kudanya tetap menjadi kuda, walaupun hal ini membuatnya kelihatan egois. Lawrence tersenyum dengan pahit dan menghela nafas karena dia lelah dengan dirinya.

Tak lama kemudian dia sampai ke sungai dan memutuskan untuk membuat tenda untuk malam ini. Bulan purnama terlihat sangat terang, tetapi tidak memastikan bahwa kalau dia tidak akan jatuh ke sungai – dan jika hal itu terjadi, menganggapnya suatu ‘bencana’ adalah hal yang sangat meremehkan. Dia harus bergantung diri, masalah macam itu sangat tidak dibutuhkannya.

Lawrence menarik kendalinya, dan kudanya pun berhenti sesuai dengan isyaratnya, menghelakan nafasnya dua atau tiga kali saat menyadari bahwa istirahat yang dinantikannya setelah lama akhirnya tiba.

Memberikan sisa sayurnya kepada kudanya, Lawrence mengambil sebuah ember dan mengisinya dengan air sungai, kemudian menempatkannya didekat hewan tersebut. Saat dengan senangnya kuda itu meminum air di ember, Lawrence meminum air yang dia dapatkan dari desa.

Anggur mungkin akan lebih enak, tetapi minum-minum tanpa seorang teman hanya akan membuat dia merasa lebih kesepian. Dan juga, tidak ada yang bisa menjamin kalau dia nanti sudah mabuk, jadi Lawrence memutuskan untuk tidur.

Dia dengan setengah hati mengunyah sayuran, jadi dengan begitu dia hanya memakan sedikit daging sebelum kembali ke kasur yang di gerobak. Biasanya dia tidur di serat jerami yang di beri terpal yang menutupi kasurnya, tapi malam ini dia membawa banyak bulu-bulu di gerobaknya, jadi akan sia sia jika dia tidak tidur didalamnya. Mungkin hal ini akan membuat dia tercium menjijikan di pagi hari, tetapi itu lebih baik daripada kedinginan.

Tetapi langsung menuju ke bulu-bulu itu akan menghancurkan ikat gandum-gandum tersebut, jadi untuk memindahkannya, dia mengangkat terpalnya ke kasur gerobak.

Satu-satunya alasan dia tidak berteriak adalah karena sesuatu yang dilihatnya sangat tidak bisa dipercaya.

“...”

Sepertinya, dia mendapatkan tamu.

“Hey.”

Lawrence tidak yakin suaranya bisa terdengar. Dia terkejut dan berpikir apakah kesepiannya telah membuatnya berhalusinasi.

Namun setelah dia menggelengkan kepalanya dan menggesekkan matanya, tamunya belum hilang juga.

Gadis yang cantik itu tertidur sangat pulas dan sayang kalau membangunkannya.

“Hey, kau yang disana,” akhirnya Lawrence berkata, kembali ke nalarnya. Dia berniat untuk mengetahui apa yang membuat dia tidur di kasur gerobak. Mungkin yang terburuk, kalau dia adalah pelarian dari desa, dia tidak ingin masalah seperti itu.

“...hrm?” keluar jawaban tidak berdaya dari gadis itu kepada Lawrence, matanya masih tertutup, suaranya sangat manis hingga bisa membuat pedagang keliling yang malang – terbiasa dengan pelacur kota – menjadi pening.

Dia mempunyai daya tarik yang menakutkan meskipun kelihatan masih muda, membaringkan diri diantara bulu-bulu itu dan disinari cahaya bulan.

Lawrence menelan ludah sebelum akhirnya kembali ke nalarnya.

Mengingat cantiknya gadis ini, jika dia adalah pelacur, tidak ada yang tahu berapa harganya jika dia akan menyentuhnya. Mempertimbangkan situasi ekonomi sekarang dimana obat jauh lebih manjur daripada doa, Lawrence menenangkan dirinya dan mengeraskan suaranya lagi.

“Hey, kau yang disana. Apa yang kau rencanakan, tidur di gerobak orang?”

Gadis itu tidak terbangun.

Muak dengan gadis itu tertidur dengan keras kepala, Lawrence mengambil bulu yang menutupi kepala gadis itu. Kepala gadis itu jatuh ke tempat yang tadinya berisi bulu yang digunakan sebagai bantal, dan akhirnya dia mendengar kobaran jengkel dari gadis itu.

Dia hendak mengeraskan suaranya lagi, tapi kemudian diam terpaku.

Gadis itu mempunyai telinga anjing di kepalanya.

“Mm...hah...”

Akhirnya gdis itu tersadarkan diri, Lawrence mengumpulkan keberaniannya dan berkata lagi.

“Kau yang disana, apa yang kau lakukan, memasuki kasur gerobak ku?”

Lawrence sudah sering dirampok lebih dari sekali oleh pencuri dan bandit saat menyebrangi pedesaan. Dia menganggap dirinya lebih berani dibanding orang lain. Dia tidak akan gemetar hanya karena gadis yang didepannya mempunyai telinga hewan.

Meskipun gadis itu tidak menjawab pertanyaannya, Lawrence tidak menanyakannya lagi.

Ini karena gadis itu perlahan bangun didepannya dalam keadaan telanjang bulat, terlihat sangat menawan.

Rambutnya berkilau disinari cahaya bulan di dalam gerobak, terlihat sangat lembut seperti sutra dan terurai ke bahunya bak jubah yang mahal. Untaian yang terurai dari lehernya sampai ke tulang selangka nya mebuatnya terlihat sangat indah sampai melampaui lukisan Virgin Mary, lengannya yang lentur bak di ukir dari es.

Dan sekarang terlihat di tengah tubuhnya terdapat dua buah payudara yang kecil, terlihat sangat menawan bak terbuat dari bahan buatan. Payudara tersebut terlihat seperti mengeluarkan aroma yang vital, bagaikan bertempat di dalam pesonanya yang mengakap kehangatan.

Tetapi pemandangan yang menarik tersebut kemudian menjadi hilang.

Gadis itu perlahan membuka mulutnya dan menghadap ke langit. Menutup matanya, dan melolong.

“Auwooooooooo!”

Lawrence tiba-tiba merasa ketakutan – lolongan itu bak menerjang tubuhnya bagaikan angin.

Lolongan itu adalah panggilan yang digunakan oleh serigala untuk memanggil kawan-kawannya, untuk mengejar dan memojokkan seorang manusia.

Lolongan ini tidak terdengar seperti yang Yarei teriakkan tadi, lolongan ini terdengar sangat nyata. Lawrence menjatuhkan daging yang dia gigit dari mulutnya, kudanya terbangun kaget.

Kemudian dia menyadari sesuatu.

Bentuk bulan purnama gadis itu – dengan telinga yang ada dikepalanya. Telinga dari binatang buas.

“...Hmph. Bulan Purnama nan Indah. Apakah kau punya anggur?” dia berkata, membiarkan lolongannya menghilang, menarik dagunya ke atas, dan sedikit tersenyum, Lawrence kembali ke dirinya setelah mendengar suaranya.

Apa yang ada didepannya bukanlah anjing maupun serigala. Melainkan adalah seorang gadis cantik dengan telinga hewan.

“Aku tidak punya anggur, dan Apakah kamu ini? Kenapa tidur di gerobak ku? Apakah kau sebelumnya dijual di kota? Apakah kau kabur?” Lawrence berniat menanyakannya dengan tegas sebisa mungkin, tetapi gadis itu tidak tergerak sama sekali.

“Jadi, kau tidak punya anggur? Kalau makanan...? Ya ampun, sungguh sia-sia,” kata gadis itu dengan tidak peduli, hidungnya berkedut. Dia melihat daging yang akan dimakan Lawrence tadi, memotongnya dan memasukkannya ke dalam mulut.

Di saat sedang mengunyahnya, Lawrence menyadari kedua taring dibalik bibir gadis itu.

“Apakah kau sejenis Iblis?” dia bertanya, tangannya meraih ke pisau belati di pinggulnya.

Sebagai seorang pedagang keliling yang terkadang harus menukar mata uang dalam jumlah banyak, terkadang mereka membawanya dalam bentuk barang. Pisau belati perak adalah salah satunya, dan perak dikenal sebagai besi suci, sangat kuat melawan roh jahat.

Namun, saat Lawrence menempatkan pisau belati di tangannya dan menanyakan pertanyaanya, gadis itu menatap kosong ke arahnya, kemudian tertawa lepas kepadanya.

“Ah-ha-ha-ha! Aku, seorang iblis katamu?”

Mulutnya terbuka lebar hingga menjatuhkan potongan dagingnya, gadis itu sangat menawan hingga bisa dikatakan dapat menghilangkan keluh kesal.

Kedua taringnya itu menambah daya tariknya.

Namun, karena ditertawakan Lawrence menjadi marah.

“K-Kenapa hal tersebut dianggap lucu?”

“Oh, memang sangat lucu! Ini pertama kalinya aku dipanggil iblis.”

Masih terkekekh-kekeh, gadis itu mengambil daging dan mengunyahnya lagi. Dia memang mempunyai taring. Ditambah telinganya, sudah jelas kalau dia itu bukan manusia.

“Kau ini apa?”

“Aku?”

“Siapa lagi kalau bukan kau?”

“Entahlah? Mungkin kuda itu?”

Saat lawrence mengacungkan pisau belatinya, senyum gadis itu sirna. Matanya yang berwana merah kekuningan menyipit.

“Cepat katakan! Kau ini apa!?”

“Mengacungkan senjata ke aku sekarang? Sungguh tidak sopan.”

“Apa?!”

“Mm. Ah, begitu. Pelarian ku berhasil. Maafkan aku! Aku lupa,” kata gadis itu dengan tersenyum – sebuah senyuman yang jujur dan menawan.

Senyumannya memang tidak menggoyahkannya, tetapi tetap saja Lawrence merasa bahwa mengacungkan sebuah senjata ke seorang gadis terlihat sangat tidak sopan untuk seorang pria, jadi dia menaruh pisau belatinya.


“Aku dipanggil Holo. Sudah lama aku tidak mengambil bentuk ini, tapi, yah, kelihatannya cukup bagus.”

Saat gadis itu melihat ke dirinya sendiri, Lawrence sangat terpaku pada separuh awal perkataannya dan melewati sisanya.

“Holo?”

“Mm, Holo. Nama yang bagus bukan?”

Lawrence telah berkeliling ke penjuru tempat. Tetapi hanya ada satu tempat dimana dia mendengar nama itu.

Dimana lagi kalau bukan di desa Pasloe.

“Kebetulan sekali. Aku juga tahu seseorang dengan nama Holo.”

Dia cukup berani untuk menggunaka nama Dewi, tetapi setidaknya dia memang gadis dari desa itu. Mungkin dia dibesarkan secara diam-diam, karena telinga dan taring nya. Sangat sesuai dengan perkataanya dimana dia “berhasil kabur.”

Lawrence mendengar rumor tentang anak yang tidak normal seperti ini dilahirkan. Mereka disebut anak iblis, dan diduga iblis atau roh jahat merasuki mereka saat dilahirkan. Jika anggota gereja mengetahuinya – mereka bersama keluarganya – akan dibakar dengan tudingan pemujaan setan. Oleh karena itu, anak seperti ini biasanya ditingalkan di gunung atau dibesarkan secara diam-diam.

Tetapi ini pertama kalinya Lawrence melihatnya secara langsung. Dia selalu menduga mereka akan terlihat seperti hewan, namun menilai dari penampilannya saja, dia terlihat seperti dewi yang dapat diterima.

“Oh, ho, aku tidak pernah bertemu dengan Holo yang lain. Dari mana mereka berasal?’ sembari mengunyah makan, terlihat sangat jelas kalau dia sedang tidak mengelabuinya. Sepertinya sangat mungkin karena dibesarkan secara diam-diam dia menganggap dirinya sebagai seorang Dewi.

“Itu adalah sebuah nama dari Dewi Panen di daerah ini. Apakah kau seorang Dewi?”

Mendengar ini, wajah gadis yang disinari bulan ini sedikit sekilas terlihat sedih sebelum akhirnya tersenyum.

“Aku sudah terikat cukup lama dengan tempat ini dan dianggap sebagai Dewinya. Tapi aku bukanlah seorang dewa. Aku hanya seorang Holo.”

Lawrence menebak maksudnya adalah bahwa dia sudah dikunci di rumahnya sejak dia lahir. Dia merasa kasihan kepada gadis ini.

“Maksudmu ‘lama’ apakah kau lahir disana?”

“Oh, bukan.”

Ini merupakan jawaban yang tidak terduga.

“Aku lahir jauh di utara.”

“Utara?”

“Ya, musim panas disana sangat singkat dan musim dinginnya sangat panjang. Sebuah negeri perak.”

Mata Holo menyipit saat dia memandang kejauhan, dan sangat sulit untuk membayangkan kalau dia berbohong. Perilakunya saat mengingat rumahnya di utara terlihat sangat alami untuk dianggap sebagai tipu daya.

“Apakah kau pernah ke sana?”

Lawrence berpikir apakah dia sedang berusaha untuk membalas tuduhannya, namun jika Holo berbohong atau hanya mengulang apa yang dia dengar dari orang lain, dia akan tahu dengan segera.

“Paling jauh aku pergi ke Arihitostok. Salju yang menemani sepanjang tahun disana sangat menakutkan.”

“Hm, Aku belum pernah mendengarnya,” balas Holo, memiringkan kepalanya sedikit.

Dia mengira bahwa dia akan berpura-pura mengetahuinya. Ini sangat aneh.

“Tempat mana yang kamu tahu?” dia tanya.

“Sebuah tempat bernama Yoitsu.”

Lawrence memaksakan dirinya untuk berkata, “Aku tidak tahu tempat itu,” untuk menghilangkan perasaan tidak enak yang muncul. Dia memang mengetahui tempat bernama Yoitsu, dari sebuah cerita yang dia dengar dari penginapan di utara.

“Apakah kau lahir di sana?” dia tanya.

“Ya, bagaimana kabar Yoitsu sekarang? Apakah semua baik-baik saja?” Holo bertanya, sedikit merosot. Hal tersebut merupakan gerakan seketika yang tidak mungkin merupakan sebuah tipu daya.

Namun tetap saja Lawrence tidak dapat mempercayainya.

Lagipula, menurut cerita, kota Yoitsu telah dihancurkan oleh monster beruang enam ratus tahun yang lalu.

“Apakah kau ingat tempat lain?”

“Mmm...sudah ratusan tahun berlalu...ah, Nyohhira, ada sebuah kota yang bernama Nyohhira. Kota itu agak aneh, dengan pemandian air panas. Aku dulu pernah mengunjunginya untuk mandi disana.

Memang masih ada pemandian air panas disebelah utara Nyohhira, dimana bangsawan dan para darah biru sering berkunjung.

Tapi seberapa banyak jumlah orang di daerah sini yang mengetahui keberadaannya?

Mengabaikan Lawrence yang melamun kebingungan, Holo berbicara seolah dia sedang beristirahat di air panas, kemudian dia bersin.

“Mm. aku tidak keberatan mengambil bentuk manusia, tapi cuacanya sangat dingin. Bulunya tidak cukup,” kata Holo, tertawa dan menyembunyikan dirinya lagi di tumpukan bulu-bulu.

Lawrence tidak bisa menahan tawa melihat penampilannya. Tapi masih ada yang dia khawatirkan, jadi dia berbicara ke Holo saat dia sedang merapat ke bulu-bulu.

“Kau bilang sesuatu tentang berganti bentuk tadi – apa maksudnya?”

Mendengar pertanyaannya, Holo menyempilkan kepalanya keluar dari tumpukan bulu-bulu.

“Seperti yang aku bilang. Aku sudah lama tidak berubah ke manusia. Menawan bukan?” dia berkata dengan tersenyum. Lawrence terpaksa mengiyakan, tetapi dia tetap memasang wajah datar saat dia membalas. Gadis itu bisa menggoyahkannya, sudah pasti.

“Mengesampingkan beberapa rincian, kau itu manusia. Atau apa? Apakah kau anjing yang berubah menjadi manusia, seperti cerita kuda yang menjadi manusia?”

Holo berdiri karena sedikit terprovokasi. Membalikan badannya ke dia, dia melihat ke bahunya sendiri dan menjawab dengan tenang.

“Kau bisa menebak tanpa ragu dari telinga dan ekorku kalau aku dengan bangga menyebut diriku adalah serigala! Teman sesama serigala, hewan di hutan, dan penduduk desa mengakui diriku. Ujung ekor putihku yang aku banggakan, telinga yang bisa mengetahui semua kejahatan dan mendengar semua kebohongan, dan aku telah menyelamatkan banyak temanku dari bahaya. Saat mereka berbicara tentang serigala bijak dari Yoitsu, mereka sedang membicarakan diriku!”

Holo mengendus dengan bangga tapi kemudian ingat dinginnya udara dan masuk kembali ke bulu-bulu. Ekor yang berada di bawah punggungnya memang bergerak.

Tidak hanya telinga, sepertinya – dia juga mempunyai ekor.

Lawrence kembali mengingat lolongannya, lolongannya merupakan lolong serigala asli, sudah tidak salah lagi. Jadi apakah dia memang Holo, Serigala Dewi Panen?

“Tidak, tidak mungkin.” Gumam Lawrence ke dirinya sendiri saat dia mempertimbangkan Holo. Dia kelihatan tidak mengkhawatirkan dirinya saat dia menyipitkan matanya di dalam bulu yang hangat. Terlihat demikian, seperti kucing, walaupun itu bukan masalahnya. Apakah Holo seorang manusia atau bukan? Itulah masalahnya.

Orang yang biasanya dirasuki oleh iblis biasanya tidak takut terhadap orang-orang gereja hanya karena penampilan mereka berbeda – mereka justru takut iblis yag didalamnya akan mengamuk dan mendapat hukuman yang dikenalkan oleh geraja merupakan hukuman mati.

Tapi jika Holo memang adalah hewan yang berubah seperti di kisah lama, dia mungkin akan membawa keuntungan atau melakukan suatu keajaiban.

Benar, jika dia memang sang Holo, Dewi Panen, pedagang gandum pasti sangat senang menjadi teman perjalanannya.

Lawrence kembali mengalihkan perhatiannya ke Holo.

“Kalau tidak salah, Holo kan?”

“Ya?”

“Kau bilang kau adalah serigala.”

“Memang.”

“Tapi kau hanya punya telinga dan ekor serigala. Jika kau memang serigala yang dapat berubah, kau seharusnya bisa mengambil bentuk serigala.”

Holo menatapnya tanpa sadar ke perkataan Lawrence sebelum dia terpikir sesuatu.

“Oh, jadi kau ingin aku menunjukkan bentuk serigala ku?”

Lawrence mengangguk ke pernyataannya tetapi dia malah agak terkejut.

Dia berpikir dia mungkin akan kebingungan atau akan berbohong.

Tapi dia tidak melakukan keduanya, malah dia kelihatan jengkel.

Ekspresi kejengkelannya kelihatan sangat dapat dipercaya ketimbang berbohong – kepastian bahwa dia memang bisa berubah – seperti yang dia harapkan.

“Aku enggan melakukannya.” Dia berkata dengan datar.

“Kenapa tidak?”

“Kenapa kau ingin aku berubah?” dia membalas balik, dengan cemberut.

Lawrence meringis mendengar balasannya, tapi pertanyaan tentang apakah Holo itu manusia atau bukan lebih penting. Memulihkan diri setelah tersandung, Lawrence menempatkan banyak kepercayaan diri di suaranya, berusaha memulai percakapan.

“Jika kau memang manusia, aku akan membawamu ke gereja, iblis selalu menyebabkan kekacauan. Tapi kalau kau memang Holo, sang Dewi Panen, dalam bentuk manusia, maka aku tidak perlu menyerahkanmu.”

Apakah dia memang atau tidak, mungkin – kisah dari hewan yang berubah sebagai tanda dari pembawa keberuntungan masih dipertanyakan. Daripada menyerahkannya sebagai iblis ke gereja, dia lebih memilih memberinya anggur dan roti. Jika tidak, keadaannya akan bereda.

Saat Lawrence berbicara, Holo mengerutkan hidungnya, ekspresi raut wajahnya semakin menjadi semakin pucat.

“Dari yang aku dengar, hewan yang berubah bisa kembali ke bentuk asli mereka, jika kau memang mengatakan yang sebenarnya, kau seharusnya dapat melakukannya kan?”

Holo mendengarkan ceritanya dengan ekspresi jengkel yang sama. Terkadang dia menghela nafasnya dan dengan lembut keluar dari tumpukan bulu-bulu.

“Aku telah menderita berkali-kali ditangan orang-orang gereja. Aku tidak mau diserahkan kepada mereka. Dan –“

Dia menghela nafas lagi, mengelus ekornya sembari melanjutkan. “Tidak ada hewan yang bisa merubah bentuknya tanpa sebuah token. Manusia pun membutuhkan make up sebelum mengganti penamplannya. Sama halnya dengan diriku, aku butuh makanan.”

“Makanan apa yang kau butuhkan?”

“Sedikit gandum.”

Kedengarannya masuk akal untuk seorang dewi panen, Lawrence mengaku, tetapi pernyataannya selanjutnya membuatnya terkejut.

“Atau darah segar.”

“Darah...Segar?”

“Hanya sedikit.”

Nadanya yang biasa saja membat Lawrence merasa bahwa dia tidak mungkin berbohong, nafasnya tertahan, dan melihat ke mulutnya. Beberapa saat yang lalu, dia melihat taring di belakang bibir saat dia menggigit daging yang dia jatuhkan.

“Kenapa? Kau takut?” kata Holo terhadap kegentaran Lawrence sembari tersenyum dengan sedih. Lawrence akan mengatakan “Tentu saja tidak,” tapi Holo dengan jelas sudah mengantisipasi reaksinya.

Tapi kemudian senyumnya hilang dari wajahnya, dan dia memalingkan diri darinya. “Jika kau memang takut, aku semakin enggan untuk melakukannya.”

“Lalu kenapa?” Lawrence bertanya, menempatkan kekuatan di suaranya, merasa dia sedang dipermainkan.

“Karena kau akan bergetar ketakutan. Semuanya, baik manusia maupun hewan, melihat bentuk asliku dengan terkagum, dan memperlakukanku dengan spesial. Aku lelah degan perlakuan ini.”

“Apakah maksudmu adalah aku akan takut dengan bentuk aslimu?”

“Jika kau ingin berpura-pura menjadi berani, setidaknya sembunyikan tanganmu yang bergetar itu!” Holo berkata dengan jengkel.

Lawrence melihat ke tangannya, namun saat dia menyadari kesalahannya sudah terlambat baginya.

“Heh, kau memang jujur,” kata Holo yang tergirang, namun sebelum Lawrence mengatakan sesuatu, ekspresinya memucat lagi dan dia melanjutkannya seceoat hembusan anak panah. “Meskipun demikian, hanya karena kau adalah orang yang jujur bukan berarti aku akan menunjukkan bentuk asliku. Apa yang kau katakan sebelumnya memang benar?”

“Sebelumnya?”

“Jika aku memang serigala, kau tidak akan menyerahkanku ke gereja.”

“Mm...”

Lawrence pernah mendengar bahwa ada iblis yang dapat membuat ilusi, jadi ini adalah keputusan yang tidak bisa diambil secara enteng. Holo sepertinya mengantisipasikannya dan berbicara lagi.

“Yah, Aku mempunyai mata yang membedakan manusia dan binatang buas. Kau sepertinya adalah pria yang memegang kata-katamu.”

Lawrence tidak bisa mengeluarkan lidahnya untuk membalas perkataan Holo yang menggodanya. Dia pastinya bisa menarik perkataanya. Dia tahu bahwa dia sedang dipermainkan, tetapi tidak ada yang bisa dia lakukan.

“Baiklah, Akan kutunjukkan sedikit. Sebuah transformasi penuh itu sulit. Kau akan memaafkanku jika aku hanya merubah tanganku,” kata Holo, meraih sesuatu ke pojok kasur gerobak.

Lawrence mengira dia sedang melakukan sebuah pose spesial yang harus dilakukannya, tapi kemudian dia menyadari bahwa dia sedang meraih setangkai gandum dari ikatan di pojok gerobak.

“Apa yang kau lakukan dengan itu?” tanya Lawrence tanpa berpikir.

Sebelum dia menyelesaikan pertanyaannya, Holo memakan gandum itu ke mulutnya dan, menutup matanya, menelannya seperti pil.

Kulit dari biji yang belum dikupas tidak bisa dimakan. Lawrence mengerutkan keningnya saat membayangkan rasa pahit di mulutnya, namun bayangan tersebut sirna saat dia melihat apa yang ada didepannya.

“Uh, uughh...” Holo merintih, mengenggam tangan kanannya dan jatuh ke tumpukan bulu-bulu.

Lawrence berniat mengatakan sesuatu – mana mungkin ini adalah sebuah tipu daya – saat suara yang aneh memasuki telinganya.

Sh-sh-sh-sh. Suara yang terdengar seperti tikus yang berlari di tengah hutan. Suara tersebut berlanjut untuk beberapa saat, kemudian berakhir dengan suara hantaman yang lembut, seperti sesuatu yang menginjak dasar yang lunak.

Lawrence sangat terkejut dan tidak bisa berbuat apa-apa.

Selanjutnya, tangan Holo yang tadinya terlihat ramping berubah menjadi kaki depan dari sebuah binatang buas yang besar yang sangat tidak cocok dengan anggota badannya yang lain.

“Mm... wew, kelihatannya tidak terlalu bagus.”

Anggota tubuh yang kelihatan sangat besar dimana dia terlihat kesusahan untuk menyeimbangkannya. Dia menaruh kaki besarnya di tumpukan bulu-bulu dan menggeser dirinya sendiri untuk menopangnya.

“Jadi, percaya sekarang?” dia menatap Lawrence.

“Uh...er...” Lawrence tidak dapat membalasnya, menggosok matanya dan menggelengkan kepalanya dan berulang-ulang menatap yang ada didepannya.

Kakinya sangat mengesankan dan dilapisi oleh bulu coklat tua. Melihat ukuran dari kaki ini, bentuk hewannya akan sangat besar, sebesar ukuran kuda. Telapaknya diakhiri dengan cakar yang berbentuk seperti sabit.

Dan semua itu berada di bahu ramping gadis itu. Akan sangat aneh kalau tidak menganggapnya sebagai ilusi.

Tidak dapat mempercayainya, Lawrence akhirnya membasuh mukanya dengan air.

“Lihat betapa ragunya kau ini. Jika kau berpikir ini adalah ilusi, silahkan pegang tanganku,” goda Holo, tersenyum, menggerakkan cakarnya bagaikan gerakan untuk mengajaknya mendekat.

Lawrence merasa jengkel, tapi masih ragu. Selain ukurannya yang besar, lengan itu memberikan hawa yang berbahaya baginya.

Lengan itu terlihat seperti kaki serigala. Aku pernah melihat barang yang bernama kaki naga, Lawrence berkata pada dirinya sendiri, jengkel dengan rasa pengecutnya. Dan sebelum tangannya bisa menyentuh nya...

“Oh-“ kata Holo, yang sepertinya mengingat sesuatu.

“Ap-! Ada apa?”

“Mm, oh, tidak, Jangan terkejut!” kata Holo, sekarang terdengar kesal. Ditambah rasa malu setelah ketakutan, Lawrence makin lama semakin kesal terhadap yang dia rasakan sebagai dia telah gagal sebagai seorang pria. Menenangkan diri, dia mencoba lagi.

“Jadi, kenapa bisa begini?”

“Mm,” kata Holo dengan lemas, melihat ke Lawrence. “Pelan-pelan, ok?”

Lawrence tidak bisa menahan untuk menghentikan tangannya karena perilakunya yang tiba-tiba menawan.

Dia memandanginya, dan Holo memandang balik, tersenyum.

“Kau memang terlihat menawan ya?” katanya.

Lawrence tidak berkata apa-apa karena dia memastikan apa yang tangannya sedang rasakan.

Dia merasa jengkel terhadap perilaku menggodanya, tetapi ada alasan lain, yaitu dia tidak bisa membalasnya.

Tentu saja itu karena apa yang dia sentuh.

Kaki binatang yang menjulang dari bahu Holo mempunyai tulang yang tebal dan sekeras batang pohon, dibungkus oleh otot yang bisa membuat para prajurit iri, dan menutupinya, sebuah bulu coklat yang menawan dari atas bahu sampai ujung cakarnya. Setiap jari telapaknya berukuran sebesar roti yang belum dipotong. Melewati jari telapak yang kemerahmudaan ada sesuatu yang lebih tebal – sabit dari cakarnya.

Kaki tersebut sangat padat, tapi cakar-cakar itu bukanlah sebuah ilusi. Selain sensasi dingin seperti yang ada di cakar hewan biasa, Lawrence merasakan sensasi dimana dia seharusnya tidak menyentuh nya.

Dia menelan ludahnya. “Apakah kau benar seorang dewi...?” dia bergumam.

“Aku bukanlah seorang dewi, bisa dilihat dari telapak kakiku, aku hanya lebih besar dari saudara-saudaraku – lebih besar dan lebih pintar. Aku adalah Holo sang serigala bijak!”

Gadis itu dengan bangganya berkata bahwa dia adalah sesorang yang “bijak.”

Darimanapun juga, dia adalah gadis muda yang sangat suka menggoda – tapi aura dari lengan binatang yang dia keluarkan tidak sembarang hewan mempunyainya.

Tidak ada kaitannya dengan ukuran dari lengan ini.

“Jadi, bagaimana menurutmu?”

Lawrence mengangguk dengan setengah-setengah pada pertanyaannya. “Tapi... Holo yang asli seharusnya berada di Yarei sekarang. Sang serigala tinggal di orang yang memotong ikat gandum terakhir, kata mereka...”

“Heh-heh-heh. Aku Holo sang Serigala Bijak! Aku tahu sendiri batasanku. Memang benar aku hidup didalam gandum. Tanpanya, aku tidak bisa hidup. Dan benar pada saat panen ini aku berada di dalam ikat terakhir yang belum dipanen, dan biasanya aku tidak bisa kabur dari situ. Tidak jika ada orang yang melihatnya. Namun, ada pengecualian.”

Lawrence mendengarkan penjelasanya, terkagum oleh penyampaiannya yang cepat.

“Jika disekitar gandum terakhir ada ikat gandum besar yang lain, aku bisa bergerak tanpa dilihat ke situ. Jadi itulah kenapa mereka mengatakannya, kau tahu lah, para penduduk desa berkata. ‘jika kau memotongnya dengan terlalu rakus, kau tidak akan menangkap Dewi Panen, dan dia akan kabur.’”

Lawrence melihat ke kasur gerobaknya dan menyadarinya.

Ada ikat gandum – yang dia dapatkan dari desa di gunung.

“Jadi begitulah caranya. Aku pikir aku bisa mengatakan bahwa kau adalah penyelamatku. Jika kau tidak di situ, aku tidak akan mungkin bisa lolos.”

Walaupun Lawrence tidak dapat mempercayainya, dia diyakinkan lagi dengan Holo menelan beberapa gandum lagi dan mengubah tangannya menjadi normal.

Tetapi, Holo mengatakan ‘penyelamat’ dengan ketidaksukaan tertentu, jadi Lawrence memutuskan untuk mengimpaskannya.

“Mungkin, aku seharusnya membawa gandum ini kembali ke desa. Mereka akan kesusahan tanpa Dewi Panen mereka. Aku sudah lama berteman dengan Yarei dan yang lain di Pasloe. Aku tidak suka melihat mereka menderita.”

Dia mengarang hal tersebut. Tetapi semakin dipikirkan, hal tersebut mungkin terjadi. Jika Holo adalah Holo yang asli, maka bukankah Desa itu akan mendapatkan panen buruk?

Setelah beberapa saat, renungannya berakhir.

Holo melihatnya dengan terluka.

“Kau...Kau pasti bercanda, ya.” Katanya.

Penampilannya yang tiba-tiba melemah menghantam si pedagang yang tidak berdaya itu.

“Aku juga tidak tahu,” kata Lawrence dengan ragu, berusaha menutupi konflik internalnya dan mengulur waktu.

Bahkan meskipun kepalanya mengkhawatirkan masalah lain, hatinya semakin merasa tidak enak.

Lawrence menderita oleh perasaannya. Jika Holo memang seorang Dewi Panen, hal yang terbaik yang dilakukannya adalah mengembalikannya ke desa. Dia sudah lama mengenal Pasloe. Dia tidak ingin membuat mereka menderita.

Namun, ketika dia melihat Holo, kelakuannya tadi sudah tidak ada – sekarang dia menatap ke bawah, bak putri yang ada di cerita ksatria lama.

Lawrence merenung dan bertanya pada diri sendiri, Jika haruskah aku mengembalikan gadis ini ke desa, walaupun dia tidak mau?

Bagaimana kalau dia memang Holo?

Dia memikirkan masalah ini dengan keringat dingin, kedua pertanyaan tersebut berseteru di kepalanya.

Kemudian dia merasa bahwa dia sedang dipandangi. Dia mengikuti ke sumbernya dan melihat Holo memandanginya dengan memelas.

“Aku mohon, bantu aku...oke?”

Tidak tega melihat Holo dengan lemah menundukkan kepalanya, Lawrence mengalihkan pandangannya. Selama ini yang dia lihat adalah punggung dari kuda. Hidup ini membuatnya tidak bisa menolak seorang gadis seperti Holo memandanginya dengan wajah seperti itu.

Dengan terpaksa, dia telah memutuskan.

Dia kembali berbalik ke Holo dan menanyakannya sebuah pertanyaan.

“Aku harus bertanya.”

“...baiklah”

“Jika kau meninggalkan desa itu, masih bisakah mereka memanen gandum?”

Dia tidak mengira Holo akan menjawab dengan cara yang membuat posisinya melemah, tapi dia adalah seorang pedagang. Dia telah berhadapan dengan banyak negosiator yang tidak jujur. Dia percaya jika Holo berbohong, dia akan tahu.

Lawrence mempersiapkan dirinya jika dia memang akan berbohong, namun ternyata tidak.

Di saat dia melihat ke Holo, ekspresinya terliht berbeda dengan apa yang dia lihat sebelumnya, dia terlihat marah dan hampir menangis saat melihat ke pojok kasur gerobak.

“Er... Kau baik-baik saja?”

“Panen berlimpah di desa akan terus berlanjut tanpa aku,” dia berkata, terdengar sangat irasional.

“Benarkah?” tanya Lawrence, kerepotan oleh hawa marah Holo.

Holo mengangguk, mencocokkan bahunya. Dia mencengkeram bulu itu dengan kencang, tangannya sampai memutih karenanya.

“Selama aku menetap di desa itu, setelah bertahun-tahun aku mempunyai bulu di ekorku. Pada akhirnya aku berharap untuk pergi, tapi demi nasib dari gandum di desa aku tetap tinggal. Kau tahu, dulu aku berjanji kepada para pemuda desa bahwa aku akan menjaga panen desa itu dan aku menepati janjiku.”

Mungkin Holo masih tidak bisa menerimanya, dia sama sekali tidak melihat Lawrence saat berbicara.

Awalnya kata-katanya memang tanggap dan mudah dimengerti, sekarang dia tergoyang tak menentu.

“Aku...aku adalah serigala yang hidup di gandum. Pengetahuanku tentang gandum. Tentang hal-hal yang tumbuh di tanah tidak ada duanya. Itulah mengapa aku membuat tanah di desa itu menjadi subur seperti yang aku janjikan. Tapi untuk melakukannya, sering kali panen harus menjadi buruk. Memaksakan tanah untuk berproduksi membutuhkan imbalan. Tapi setiap kali panen menjadi buruk, para penduduk desa menghubungkannya dengan keadaanku, dan belakangan ini menjadi semakin buruk. Aku sudah ingin pergi. Aku sudah tidak tahan lagi, aku telah lama menepati janjiku.”

Lawrence mengerti maksud kemarahan Holo. Beberapa tahun yang lalu, Pasloe berada di tangan Count Ehrendott, dan sejak saat itu tek pertanian baru telah di impor dari selatan, menambahkan hasil panen.

Kemudian Holo merasa keberadaannya sudah tidak dibutuhkan lagi.

Memang benar, rumor telah menyebar tentang bahwa dewa kaum gereja itu tidak ada. Tidak mungkin mustahil bahwa orang pedesaan juga mulai meragukannya.

“Panen bagus desa itu akan terus berlanjut. Akan ada beberapa panen buruk dalam beberapa tahun, tapi itu karena mereka sendiri, dan mereka akan melewatinya sendiri. Tanah ini sudah tidak membutuhkanku lagi, dan orang-orang juga sepertinya sudah tidak membutuhkan ku lagi.”

Mengeluarkan kata-katanya dalam saut nafas, Holo mengehela nafas dengan dalam dan kembali berbaring ke tumpukan bulu-bulu lagi dan menguburkan wajahnya disitu.

Dia tidak bisa melihat wajahnya untuk memastikannya, tetapi sepertinya tidak mustahil baginya untuk menangis. Lawrence menggaruk kepalanya, tidak yakin apa yang harus dikatakannya.

Dia melihatnya dengan tak berdaya ke arah bahunya yang ramping dan telinga serigalanya.

Mungkin beginilah seorang Dewi asli bertindak. Terkadang penuh dengan semangat dan keseruan, kemudian memiliki kecerdasan yang tajam, sekarang menunjukkan sifat kekanak-kanakan.

Lawrence sekarang bingun bagaimana mengatasi gadis ini sekarang. Meskipun begitu, dia tidak bisa tetap diam, jadi dia mencoba cara baru.

“Kalau begitu, mengesampingkan bahwa benar tidaknya semua hal tersebut...”

“Kau pikir aku berbohong?” bentak Holo terhadap perkataanya. Dia terkejut, tapi sepertinya Holo menyadari kalau dia juga terlalu emosional. Dia berhenti, merasa malu dan bergumam “maaf” dengan cepat sebelum menguburkan wajahnya ke bulu-bulu lagi.

“Aku mengerti tentang kebenciamu. Tapi kemana kau sekarang akan pergi setelah meninggalkan desa?”

Dia tidak langsung menjawab, tetapi Lawrence melihat telinganya menegang mendengar pertanyaanya, jadi dia menunggu dengan sabar. Dia baru saja mengeluarkan perasaanya, dan Lawrence mengira bahwa dia tidak ingin berhadapan dengan siapapun untuk sejenak.

Pada akhirnya, Holo dengan bersalah melihat ke pojok dari kasur gerobak, meyakinkan kecurigaan Lawrence.

“Aku ingin pulang ke utara.”

“Utara?”

Holo mengangguk, mengalihkan pandangannya ke atas dan kejauhan. Lawrence tidak perlu mengikutinya untuk mengetahui kalau dia melihat ke utara.

“Tempat lahirku. Hutan Yoitsu. Bertahun-tahun telah berlalu sampai aku tidak bisa menghitungnya... Aku ingin pulang ke rumah.”

Kata tempat lahir membuat Lawrence terkejut, dan dia melihat ke sosok Holo. Dia sendiri juga belum pernah mengunjungi kembali tempat lahirnya semenjak dia menjadi pedagang keliling.

Tempat tesebut memang kumuh dan sempit dan hanya memiliki sedikit kenangan indah untuk diingat, tetapis setelah bertahun-tahun berada di kursi kusir, terkadang kesepiannya mengalahkannya dan mau bagaimana lagi dia jadi teringat dengan tempat itu.

Jika Holo memang berkata jujur, tidak hanya dia telah meninggalkan rumahnya selama berabad-abad, dia juga telah menahan rasa tidak dihiraukan dan diasingkan di tempat dia tinggal...

Dia bisa menebak seberapa kesepiannya Holo.

“Tapi aku juga ingin berkeliling. Lagi pula aku sudah jauh-jauh datang ke sini. Dan tentu saja tempat-tempat ini telah berubah dalam berbulan-bulan dan tahun, jadi mungkin akan bagus jika aku meluaskan pandanganku.” Kata Holo, memandang Lawrence.

“Selama kau tidak mengantarku ke desa Pasloe atau menyerahkanku ke gereja aku ingin berkelana bersamamu. Kau seorang pedagang keliling bukan?”

Dia memandang Lawrence dengan senyum ramahnya yang menyarankan bahwa dia sudah melihat apa yang dipikirkannya dan tahu bahwa dia tidak akan menghianatinya. Dia terdengar seperti seorang teman lama yang meminta permintaan yang sederhana.

Lawrence belum memutuskan bahwa dia percaya atau tidak terhadap cerita Holo, tapi sejauh yang dia pikir, dia buka orang jahat. Dan dia mulai menikmati percakapannya dengan gadis aneh ini.

Tapi dia tidak terpengaruh oleh daya tariknya hingga sampai melupakan insting pedagangnya. Seorang pedagang yang baik adalah yang berani untuk berhadapan dengan dewa dan bahkan berhati-hati dengan saudaranya sendiri.

Lawrence memikirkannya, kemudian berkata dengan tenang.

“Aku tidak bisa mengambil keputusan ini dengan cepat.”

Dia mengira akan mendapatkan sebuah komplain, tetapi sepertinya dia meremehkan Holo. Dia mengangguk dengan paham. “Bagus bagimu untuk berhati-hati, tetapi aku tidak pernah salah dalam menilai orang. Aku tidak percaya jika kau adalah orang yang tega meninggalkan seseorang.”

Holo berkata dengan senyuman godaannya menempel di bibirnya. Dia berbalik dan meloncat kembali ke tumpukan bulu-bulu itu, tanpa dengan kesedihannya seperti tadi. Sepertinya dia mengisyaratkan. “Pembicaraanya cukup sampai disini.”

Saat Holo mengahiri percakapannya lagi, Lawrence hanya bisa tersenyum sambil memandang Holo.

Dia pikir dia melihat telinganya bergerak, kemudian kepalanya muncul dan memandanginya.

“Tentu saja kau tidak akan membiarkanku tidur di luar kan?” katanya, tentu saja sadar bahwa mustahil baginya untuk melakukan hal tersebut. Lawrence mengangkat bahunya, Holo terkekeh-kekeh dan kembali ke tumpukan bulu-bulu.

Melihatnya seperti ini, Lawrence berpikir apakah tindakannya tadi hanyalah sebuah tipu daya, bak dia hanya menjalankan perannya sebagai putri yang terkurung.

Meskipun begitu, dia ragu kalau kebenciannya terhadap penduduk desa atau keinginannya untuk pulang adalah kebohongan belaka.

Dan jika hal-hal itu memang benar, maka dia harus percaya bahwa dia adalah Holo yang asli, karena seorang gadis yang dirasuki iblis tidak mungkin bisa mengarang semua itu, Lawrence menghela nafasnya dan menyadari bahwa semua yang dipikirkannya tidak menghasilkan sebuah jawaban. Dia memutuskan untuk kembali tidur dan membiarkan sisanya untuk diselesaikan besok.

Tumpukan bulu-bulu yang ditiduri Holo merupakan milik Lawrence. Sangat konyol untuk berpikir bahwa pemiliknya lupa akan kenyamanannya dan tidur di kursi kusir. Dia menyuruh Holo untuk bergeser dan ikut masuk ke dalam tumpukan bulu-bulu.

Dari belakang dia bisa mendengar suara lembut nafas Holo. Walaupun dia berkata kepadanya bahwa dia tidak bisa langsung mengambil keputusan, Lawrence sudah memutuskan selama Holo tidak membawa pergi barang-barangnya pada pagi hari, dia akan berkelana bersamanya.

Dia ragu kalau Holo adalah seorang pembuat ulah – tapi jika dia memang seperti itu, dia pikir, dia akan membawa pergi semua barangnya.

Dia menantikan hari esok.

Lagi pula, sudah lama dia tidur bersebelahan dengan orang lain. Hampir mustahil untuk tidak senang dengan mencium bau wangi menembus bau bulu yang kuat.

Kudanya mengangkat dengan terhela. Ibarat membaca pikiran Lawrence yang sederhana.

Mungkin kuda memang bisa memahami manusia dan lebih memilih untuk diam.

Lawrence tersenyum dan menutup matanya.


Lawrence bangun di awal pagi. Dia seperti pedagang lainnya yang bangun pagi untuk mengambil untung pada hari itu lebih awal. Tetapi, ketika dia membuka matanya ke kabut pagi, Holo sudah terbangun, duduk di sebelahnya, dan mencari sesuatu. Seketika, Lawrence berpikir apakah penilaiannya terhadap Holo salah, tapi jika memang benar, dia memang lancang. Dia mengangkat kepalanya dan melihat dari atas pundaknya, dan sepertinya dia sedang mencari baju dan hal-hal yang lain dan baru saja mencoba mengikat sepatu.

“Ayolah! itu semua barang milikku!”

Walaupun itu bukan pencurian, bahkan seorang dewi pun seharusnya tidak menelusuri barang-barang orang lain.

Holo berbalik ke arah teguran Lawrence, tetapi tidak ada satupun rasa bersalah di wajahnya. “Hm? Oh, kau sudah bangun. Bagaimana menurutmu? Apakah cocok?” dia bertanya, sama sekali tidak khawatir saat dia merentangkan tangannya. Dia kelihatan sangat bangga. Melihatnya seperti ini membuat Holo yang tidak yakin dan sedih kemarin terlihat seperti mimpi. Benar sepertinya bahwa Holo yang asli yang sepertinya akan sering berdebat dengannya mulai dari sekarang, adalah seseorang yang kurang ajar dan angkuh.

Secara kebetulan, baju yang dipilih Holo adalah baju terbaik Lawrence yang dia gunakan untuk bernegosiasi dengan pedagang kaya dan sejenisnya. Atasnya adalah baju biru indigo dibawah rompi tiga perempat. Celana panjangnya adalah adalah kombinasi langka dari linen dan kulit, dengan rok yang mengelilingi bagian bawah tubuhnya, diikat dengan sabuk kulit domba. Sepatu boots nya adalah hadiah langka, dibuat dari kulit yang dijemur dan berlapis tiga. Bagus untuk pegunungan bersalju. Diatas semua ini dia memakai jubah kulit beruang.

Pedagang membanggakan diri di baju yang mereka pakai. Untuk membeli semua itu Lawrence menabung secara bertahap dari awal dia belajar – memakan waktu sepuluh tahun. Jika dia muncul ke negosiasi dengan menggunakan baju tersebut dengan jenggot yang dirawat, dia akan membuat orang lain berada dalam kerugian.

Dan Holo sekarang memakai pakaian itu.

Dia tidak mungkin bisa marah kepadanya.

Semua bajunya terlihat terlalu besar untuknya, yang mebuat daya tariknya semakin tinggi.

“Jubahnya berwarna hitam – rambut coklatku terlihat sangat cocok dengannya, eh? Celana ini – mungkin menutupi ekorku. Bolehkah aku melubanginya?”

Celana yang dibicarakannya dibuat oleh ahli penjahit dan dibuat dengan khusus. Sebuah lubang akan membuat celana ini tidak bisa diperbaiki lagi. Dia menggelengkan kepalanya.

“Hrm, Untungnya mereka masih besar. Aku akan mencari cara untuk membuatnya berhasil.”

Holo sepertinya tidak peduli jika mungkin dia akan diperintah untuk melepas pakaian itu. Lawrence juga tidak berpikir bahwa dia akan kabur dengan pakaian itu, tetapi tetap saja dia tetap mengira, jika dia kabur ke kota dan menjualnya, dia bisa mendapat sedikit emas.

“Kau memang seorang pedagang sejati. Aku sudah mengantisipasi wajahmu yang seperti itu.” Kata Holo, tersenyum. Dia meloncat turun dari gerobak.

Pergerakannya sangat tidak alami jadi dia tidak bereaksi apapun. Jika Holo langsung lari, dia mungkin tidak bisa mengejarnya.

Atau mungkin dia tidak bereaksi karena dia tidak berpikir bahwa dia akan lari.

“Aku tidak akan lari, jika itu memang tujuanku, aku sudah akan lama pergi.”

Lawrence melihat ke arah ikat gandum di kasur gerobak, lalu kemudian melihat ke Holo yang tersenyum. Dia melepas jubah kulit beruangnya dan memasukkannya ke gerobak, karena terlalu besar untuk ukurannya. Dia kelihatan lebih kecil dari yang dia kira, dia terlihat lebih pendek sebanyak dua kepala dibanding dirinya.

Kemudian setelah memastikan ukuran baju, dia bertanya lagi. “Jadi aku ingin berkelana denganmu, apakah boleh?”

Dia tersenyum tetapi tidak kelihatan membujuk. Jika dia mencoba untuk membujuknya, Lawrence mungkin punya alasan untuk menolaknya, tetapi dia hanya tersenyum senang.

Lawrence menghela nafas.

Dia kelihatan bukan seperti seorang pencuri, setidaknya. Dia tetap tidak bisa lengah, tetapi tidak ada slahnya jika dia ikut. Dan mengirim dia pergi hanya akan membuat rasa kesepiannya semakin parah.

“Sepertinya ini seperti sebuah takdir. Baiklah,” Lawrence berkata.

Holo tidak terlihat sangat senang – dia hanya tersenyum.

“Tapi, kau juga harus bekerja untuk mendapatkan uang. Hidup seorang pedagang tidaklah mudah. Aku berharap akan ada panen besar untuk dompetku.”


“Aku bukan orang yang menumpang dan tidak tahu malu. Aku adalah Holo sang Serigala Bijak, dan aku juga punya harga diri,” kata Holo. Lawrence tahu kalau ini bukanlah dia sedang kekanak-kanakan.

Tentu saja, Holo terkekeh. “walaupun harga diri serigala ini kemarin tidak meyakinkan.” Katanya menghina dirinya sendiri, seperti kelakuannya yang malu mencerminkan perasaan aslinya. “Bagaimanapun juga, senang bisa bertemu dengamu...er...”

“Lawrence. Kraft Lawrence. Saat aku sedang bekerja, panggil aku Lawrence.”

“Mm. Lawrence, biarkan aku memujamu untuk selamanya,” kata Holo dengan dada yang dibusungkan, telinga serigalanya berdiri dengan bangga, dia kelihatannya serius. Susah untuk mengetahui apakah dia sedang bertingkah kekanak-kanakan atau lihai. Dia bagaikan cuaca gunung yang selalu berubah.

Sepertinya sifatnya yang berubah-ubah merupaka dari ciri khasnya. Lawrence dengan cepat merubah pendapatnya tentang dia dan menawarkan tangannya dari kasur gerobak. Hal itu adalah bukti dari kepercayaannya menganggap Holo sebagai rekan berkelananya.

Holo tersenyum dan mengambil tangannya.

Tangan Hoo terasa kecil dan hangat.

“Bagaimanapun juga, sebentar lagi hujan. Kita harus cepat.”

“Ap...? kau harusnya berkata lebih cepat!” teriak Lawrence – cukup keras untuk mengagetkan kudanya. Malam sebelumnya belum menunjukkan tanda akan hujan tapi sekarang melihat awan dilangit berkumpul, sudah cukup jelas. Holo terkekeh melihat dia tergesa-gesa mepersiapkan keberangkatan. Dia naik ke belakang gerobak, dan sudah jelas dari caranya merapikan tumpukan bulu-bulu, dia akan menjadi murid yang berguna.

“Sungainya sedang tidak bagus. Sebaiknya kita menyebrang di dekat sini.”

Setelah Lawrence membangunkan kudanya, mengumpulkan ember, dan memgang kendali di tangannya, Holo ikut duduk di kursi kusir.

Kursi itu terlalu besar untuk satu orang, tetapi sedikit teralu kecil untuk dua orang.

Tapi untuk melindungi dari dingin, terlalu kecil memang tepat.

Dengan ringkikan kuda, perjalanan aneh keduanya pun dimulai.




TL: MobiusAnomalous
EDITOR: Isekai-Chan

0 komentar:

Posting Komentar